MANGUPURA – Pansus Penyelenggaraan Bangunan dan Gedung (PBG) DPRD Badung, Rabu (4/10/2023) kembali menggelar rapat kerja (raker).
Raker untuk mematangkan materi rancangan peraturan daerah (ranperda) tersebut mengundang sejumlah pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD) seperti PUPR dan Bagian Hukum.
Raker dipimpin Ketua Pansus Gusti Anom Gumanti bersama salah satu anggota Luh Kadek Suastiari. Sementara PUPR diwakili oleh AA Ngurah Adnyana yang sehari-hari JF Perencana, NK Acwis Dwijendra, Agus Sumardi, I Gede Putu Bayu Purba serta AA Ayu Laksmi Dewi. Sementara Bagian Hukum diwakili Desak Ariyani dan sejumlah tim ahli DPRD Badung.
Ketua Pansus Gusti Anom Gumanti saat ditemui usai rapat menjelaskan, raker ini sudah digelar untuk kali ketiga.
“Tadi sudah kami bahas mengenai beberapa hal dan yang paling penting Bali itu penuh dengan kearifan lokal,” tegas politisi dapil Kuta tersebut.
Karena itu, ujar Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Badung tersebut, kearifan lokal tersebut harus masuk dalam materi ranperda. Itu merupakan sebuah potensi bagi penguatan adat, agama dan budaya.
“Belajar dari pengalaman perda kita yang terdahulu, tidak ada secara eksplisit maupun implisit menjelaskan, seberapa besar sih harus menuangkan kearifan lokal dalam sebuah bangunan gedung,” ujarnya bernada tanya.
Dia berharap, ini menjadi tolok ukur.
“Tolok ukurnya begini. Misalnya bangunan itu besarnya sekian meter, minimal arsitektur Balinya sekian meter. Ini yang perlu kami rumuskan bersama sehingga terukur. Ada alat ukur untuk penerapan itu,” tegasnya.
Kalau memang bisa, tegas Anom Gumanti, bisa dipersentase. Dia berharap sekitar 30 persen dari luas bangunan keseluruhan harus menerapkan arsitektur Bali.
“Kami berharap minimal 30 persen stil Bali dari keseluruhan bangunan,” tegasnya.
Yang lain, tegas Anom Gumanti, penerapan Tri Angga, Tri Mandala, dan Tri Hita Karananya harus jelas. Tak bisa artinya luas lahan 1 are full dibangun semuanya (1 are), gak bisa karena kan ada KDB, koefisien tinggi bangunan dan sebagainya.
“Tetapi kalau melihat konsep Tri Mandala itu kan tidak seperti itu. Jadi harus ada kepala, badan dan kaki,” ujarnya lagi.
Tri Hita Karana, ujarnya, harus ada Parhyangan, palemahan dan pawongan. Artinya minimal ada ruang terbukalah.
Berikutnya yang perlu menjadi aksentuasi kita, ungkapnya, mungkin ini tak bisa dimasukkan dalam perda karena ini sangat teknis. Namun berpeluang dituangkan dalam peraturan bupati atau perbup.
Ketika masyarakat memiliki lahan cuma sedikit dan sempit, kemudian mereka masuk dalam kategori kurang mampu, tidak mungkin mereka akan mengurus izin.
Ditanya kemungkinan memberi toleransi ketinggian bangunan tidak hanya 15 meter pada zone-zone tertentu pada areal yang tak ada kaitannya dengan radius kesucian pura sehingga mengurangi alih fungsi lahan, Anom Gumanti menyatakan, hal itu sangat masuk akal.
Cuma masalahnya itu sudah diatur dalam perda provinsi bahwa bangunan yang diperbolehkan hanya setinggi pohon kelapa atau setara dengan 15 meter.
“Sudah mutlak ketinggiannya tak boleh melebihi 15 meter,” ungkapnya.
Walau begitu, terkait alih fungsi lahan masih bisa dihindarkan karena kita masih memiliki RTRW dan RDTR. Cuma masalahnya yang kita sulit adalah peraturan ini gak bisa berlaku surut. Karena kejadian itu, sudah ada sebelumnya. Sebelum paraturan ini dibuat.
“Makanya, jalan tengahnya adalah insentif dan disinsentif,” tegasnya lagi.
Ini yang harus dilakukan untuk memberikan kesempatan mereka untuk berusaha di sisi lain juga supaya alih fungsi pertanian ini tidak semakin marak seperti sekarang. (litt)