DENPASAR – Sudakara ArtSpace berkolaborasi dengan keluarga Alm. Made Wianta menghadirkan pameran lukisan kolaborasi “Whispering Calligraphy”, yang berlangsung dari tanggal 28 Agustus hingga 30 September 2023, di Sudakara ArtSpace, Sudamala Resort, Sanur.
Sejak dibuka 2012, Sudakara Artspace telah memantapkan dirinya sebagai galeria terkemuka di Bali dan Indonesia.
Artspace ini telah menyelenggarakan pameran kelas dunia yang menampilkan seniman Bambang Juliarta, Made Gunawan, Putu Edy Asmara Putra, Uuk Paramahita, Paul Trinidad, I Wayan Sujana Suklu, Lie Fei, Tjandra Kirana dan masih ada beberapa nama besar seniman lainnya.
Sudakara Artspace yang berlokasi di Sudamala Resort Sanur melakukan kegiatan ini dengan maksud juga untuk terus mendukung kemajuan pariwisata Indonesia melalui pameran seni.
Tidak hanya sekadar ruang seni, tapi dapat menjadi pusat visualisasi, seni pertunjukan, dan memberikan kesempatan bagi pengunjung, untuk menikmati pameran permanen dan temporer karya berbagai seniman, kelas melukis, bengkel budaya, program pelatihan, seminar dan lainnya.
Sudakara Artspace tidak hanya memamerkan karya buatan manusia, tetapi juga menyelipkan unsur-unsur pendidikan. “Sudakara Artspace konsepnya holistic, bebas plastik, kami tidak hanya slogan tapi memberikan contoh,” kata Wayan Suwastana, Commercial Director of Sudamala Resorts.
“Misalkan saat ini, kita sudah mulai mengurangi produksi katalog cetak, untuk pertama kali nya, pada pameran lukisan Alm. Made Wianta, kami mulai menggunakan QR code yang berisikan semua detail informasi mengenai Sudakara Artspace dan biografi lengkap seniman,” jelasnya.
Made Wianta merupakan salah satu pelukis kebanggaan Bali dan Indonesia. Karya kaligrafi Wianta dengan teknik brush struck dan cipratan warna-warna yang menakjubkan terlihat sangat kompromi ketika membangun ruang dalam medium dua dimensi.
Huruf-huruf kanji Jepang katagana hiragana adalah mula inspirasi yang tidak bisa dipisahkan. Sebagai spirit asia, Wianta seolah merasa terpanggil untuk mengolah keindahan kaligrafi Jepang dalam sebentuk karya seni rupa.
Inspirasi terbuatnya karya “Whispering Calligraphy” terjadi pada tahun 1985, Made Wianta berkunjung ke Fukuoka Jepang, mendampingi Bapak Gubernur Bali, Ida Bagus Mantra dalam lawatan budaya. Disana Made Wianta, terkesima melihat istana Edo dengan lukisan lukisan kaligrafi Jepang.
Pada saat ini berkunjung ke Zen Calligrapher dan mencoba mengekspresikan kaligrafi dengan kuas, tinta dan kertas, hasilnya mendapat pujian dari Master Zen Calligrapher.
Bahkan sang master mengira Made Wianta memiliki darah Jepang. Sejak saat itu, Made Wianta melatih tangan dan konsentrasinya agar tercipta kaligrafi yang tidak hanya tulisan, tetapi lukisan.
Wianta merasa bahwa setiap huruf-huruf yang indah bisa mengeluarkan bunyi seperti tanda-tanda dalam nada lagu. Sehingga sebelum dia mencoretkan kuas diatas kanvas, Wianta selalu bermeditasi pada adukan kuas dalam tinta seperti yang diajarkan Master Zen Calligrapher.
Disaat hening itu Wianta mendengar bisikan kaligrafi (whispering calligraphy) seperti bisikan angin, udara, air yang kemudian menjadi ritme indah yang tertuang di kanvas dari bisikan kaligrafi. Pameran lukisan yang menampilkan 18 karya dari seniman berbakat alm. Made Wianta merupakan contoh nyata dimana ketidakpahaman atas arti bahasa tidak membuat peristiwa penikmatan keindahan tulisan menjadi tidak mungkin. Made Wianta lahir pada 20 Desember 1949, menempuh pendidikan di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Denpasar, berlanjut ke Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) ‘ASRI’ yang saat ini merupakan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Selain belajar gaya klasik wayang pada lukisan Bali di Kamasan, Klungkung, Made Wianta juga memperdalam kemampuan melukisnya di Brussels, Belgia pada sekitar tahun 1970-an.
“Sudakara merasa terhormat dapat memamerkan karya seni dari Alm. Bapak Made Wianta, karya-karya beliau diakui di dunia Internasional. Gaya lukis beliau selalu berkembang, dan bisa diterima oleh berbagai kalangan usia. Beliau adalah sebuah inspirasi yang bisa melintas generasi—kalau dalam istilah lokal, mungkin bisa disebut ‘moksha’. Karya-karyanya masih terasa relevan hingga hari ini,” kata Ricky Putra, COO of Sudamala Resort. (wb3)