SETIAP tanggal 1 Juni, kita warga negara Indonesia diingatkan pada sebuah sejarah besar Bangsa Indonesia, yakni Hari Lahir Pancasila yang dituangkan dalam lima dasar falsafah negara.
Sejarah mencatat, terdapat tiga tokoh perumus Pancasila, yaitu Moh. Yamin, Soepomo, dan Soekarno. Mereka mengutarakan usulan dasar negara tersebut dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI).
Para founding father terdahulu berkeinginan mewujudkan negara Indonesia kita ini negara yang bertuhan, beradab, bersatu, demokrasi dan berkeadilan yang harus ditanamkan dalam diri setiap warga negara Indonesia.
Nyatanya di era sekarang ini sangat sulit dalam mengimplementasikan nilai-nilai yang dicita-citakan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Era digital yang menjadikan media sosial sebagai media utama dalam penyebaran berita, membuat media sosial berperan besar sebagai sumber informasi kaum millennial.
Media sosial bisa memberikan berita-berita yang positif, bisa juga sebaliknya. Salah satu dampak negatif media sosial adalah munculnya berita-berita bohong atau hoax, hingga konten-konten yang mengandung kebencian (hate speech). Hal inilah yang membuat nilai-nilai Pancasila semakin dikaburkan.
Nilai-nilai luhur Pancasila khususnya pada sila ketiga, Persatuan Indonesia, hilang begitu saja akibat berita hoax dan konten-konten hate speech. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menyebutkan, penyebaran hoax paling banyak diterima melalui media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, Path, Line, WhatsApp, dan Telegram) yang mencapai 92,4 persen.
Tidak sedikit media daring yang terjebak berita hoax. Bahkan ada yang sengaja menyebarkan hoax sebagai tujuan politik, apalagi menjelang tahun politik seperti sekarang ini.
Tak hanya berita hoax, pelanggaran akan nilai-nilai luhur Pancasila yang makin marak dalam postingan di media sosial. Terbaru, warganet khususnya di Bali kembali dihebohkan sebuah dengan kemunculan video pelecehan tempat suci umat Hindu. Seorang perempuan duduk di pelinggih Padmasana di salah satu pura.
Dikutip dari berita yang ditayangkan wartabalionline.com, video tersebut mulai beredar pada Jumat, 2 Juni 2023 dan menuai hujatan netizen khususnya di Bali. Dalam rekaman memperlihatkan sekelompok orang berkunjung di sebuah pura dan salah seorang di antaranya duduk di Padmasana. Kabarnya, kejadiannya di Pura Sali Paseban Batu, di Tangkiling yang merupakan Pura Integrasi di Kalimantan Tengah.
Pelanggaran sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa seperti kasus di atas bukan pertama kalinya terjadi. Bahkan hampir setiap hari warganet disuguhi postingan yang mengaburkan nilai-nilai Pancasila. Padahal Pancasila jelas bukan hal baru bagi warga Indonesia.
Sejak dini, yakni sejak memasuki usia sekolah, anak-anak sudah dikenalkan pada Pancasila. Dokumen sejarah mengungkap kata Pancasila pertama kali ditemukan di kitab yang ditulis oleh Empu Tantular bernama Sutasoma berbahasa Sansekerta. Kitab tersebut ditulis ketika kerajaan Majapahit berkuasa, kira-kira abad 14 masehi.
Pertanyaannya sekarang apakah Pancasila bisa mengikuti zaman? Bagi saya sangat bisa. Meski berasal dari Kitab Sutasoma di zaman Majapahit, nyatanya Pancasila masih sangat relevan dengan kehidupan saat ini. Bahkan di era digital sekalipun. Pancasila tetap harus dibumikan dan dikenalkan kepada generasi milenial.
Namun menurut saya, ideologi Pancasila jika hendak berperan dunia milenial seperti saat ini harus berkompromi dengan ‘kemasan’. Model penataran zaman dulu sudah susah diterapkan lagi.
Generasi Tik Tok sangat berkepentingan dengan inovasi. Ideologi Pancasila bisa dikenalkan dengan kemasan baru. Seperti dibuat aplikasi, model game, atau paket tayangan khas Tik Tok. Tentu saja, jika ‘kemasan’ ini diterapkan perlu melibatkan dua pihak, yakni pakar yang memahami ideologi Pancasila dan konten kreator.
Apakah mungkin Pancasila dikemas seperti di atas? Menurut saya sangat mungkin. Dikutip dari laman Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia, makna Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah ideologi yang bisa menyesuaikan diri menghadapi berbagai zaman tanpa harus mengubah nilai fundamentalnya. Dengan kata lain, Pancasila akan selalu relevan meski zaman terus berubah. Maka dari itu, Pancasila akan terus menjadi ideologi dan dasar negara Republik Indonesia.
Generasi millenial saat ini bukan tipe mudah percaya dengan pidato, slogan dan spanduk soal nilai Pancasila serta kampanye toleransi. Generasi millenial merindukan role model yang bisa mengayomi dan menjadi contoh implementasi Pancasila.
Menurut saya, menanamkan dan mengimplementasikan Pancasila secara utuh, murni dan konsekuen, merupakan hal niscaya. Tinggal tugas kita bersama berbagi peran. Melakukan gerakan untuk mempopulerkan kembali Pancasila. Dengan berbagai cara dan strategi. Dengan harapan Pancasila tetaplah Sang Sutasoma yang melambangkan pesona dan kharisma, sampai kapanpun. (*)
Penulis: Ida Susiani (Pemimpin Redaksi wartabalionline.com)