MANGUPURA – Mendapat ‘serangan’ Bendesa Adat Mengwi AA Gelgel yang dikonfirmasi terpisah menegaskan, semua tuntutan yang disampaikan oleh sekelompok masyarakat tersebut telah dilaksanakan. Dia menyebutkan pemasangan baliho tersebut sangat meresahkan, dan minta untuk segera dicabut.
BACA JUGA: https://wartabalionline.com/2023/02/16/pasang-baliho-mengwi-menangis-fdam-tuntut-bendesa-mundur/
“Semua keputusan paruman sudah kita laksanakan, sesuai kesepakatan semua banjar yang ada di Desa Adat Mengwi,”tegas AA Gelgel. Misalkan soal batas usia untuk calon Bendesa Adat sudah menjadi 70 tahun dalam awig-awig. Mengenai olih-olihan prajuru desa adat, pihaknya hanya melaksanakan dan melanjutkan keputusan yang diambil oleh Bendesa Adat sebelumnya.
Soal banten atiwa-tiwa, dijelaskannya sifatnya tidak mengikat dan tidak tercantum dalam awig-awig. “Banten atiwa-tiwa itu kita maksudkan untuk efisiensi dan meringankan masyarakat. Sifatnya tidak mengikat, kalau dilaksanakan silahkan, tapi kalau menggunakan banten yang lama juga silahkan. Tidak ada paksaan,” terangya. Nah mengenai tanah PKD yang telah ditempati oleh Pegadaian, diterangkannya masalah ini sudah sempat ditelusuri, dan pihaknya sempat dipanggil pengacara negara.
Diketahui tanah yang dimaksud tahun 1983 telah bersertifikat hak milik, dan telah memiliki IMB. Pihak desa adat diminta bukti kepemilikan. “Kita desa adat tidak ada bukti kepemilikan. Kalau tetap maju, dipersilahkan menempuh jalur hukum. Sedangkan dari pihak lain memiliki sertifikat hak milik dan IMB,”ujarnya. Terakhir pihaknya meminta pemerintah dan aparat penegak hukum untuk segera membersihkan baliho tersebut.
“Sangat meresahkan warga kami. Dikatakan Mengwi Menangis, mengwi mana yang menangis. Mereka hanya sekelompok kecil yang mengatasnamakan masyarakat Mengwi,”tandasnya. (lit,dha)