Oleh : Marroli J Indarto
Menebarkan optimisme G20, sebagai sebuah harapan solusi krisis ekonomi global, saat ini menjadi perkara yang tidak mudah bagi pemerintah. Sebagai kumpulan negara yang memiliki pengaruh ekonomi yang cukup besar saat ini, G20 diharapkan dapat memberikan solusi bagi krisis ekonomi global yang sedang melanda. Harapannya krisis ini tidak semakin mendalam, bahkan dapat segera menuju ke arah pemulihan.
Survei terkait G20 periode Mei 2022 menunjukan para narator G20 harus bekerja keras untuk membumikan narasi G20 kepada masyarakat. Targetnya, menjadikan isu-isu high level G20 berhubungan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam hal ini, dukungan dan pemahaman masyarakat akan membantu pemerintah dalam merealisasikan isu G20 sebagai bagian solusi ditengah krisis ekonomi global saat ini.
Hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) pertengan Bulan Juni 2022, menyatakan baru 32 persen masyarakat yang mengetahui Indonesia menjadi Presidensi dalam KTT G20 tahun ini. Hasil jajak pendapat juga menunjukan hal yang menarik bahwa 33 persen responden setuju posisi Indonesia dalam menghadapi perang Rusia dan Ukraina, serta mendukung untuk tetap mengundang Rusia dan Ukraina dalam KTT G20.
Data lain, pada usia 26-40 tahun memiliki tingkat pemahaman dan dukungan tinggi, juga pada usia 41-55 tahun. Sementara, pada usia usia kurang dari 21 tahun, isu G20 mempunyai dukungan tinggi namun tingkat pemahaman masih rendah. Angka dengan tingkat pemahaman dan dukungan belum tinggi pada usia 22-25 tahun dan lebih dari 55 tahun, akan tetapi potensi dukungan masih bisa berubah.
Dari dua poin ini, ada dua hal yang bisa ditangkap. Pertama, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui Presidensi G20 tahun 2022. Kedua, masyarakat yang telah mengetahui Presidensi G20 memahami bagaimana G20 ini dapat menjadi harapan dalam menyelesaikan krisis ekonomi dunia.
Bukan hal mudah bagi pemerintah meningkatkan pemahaman dan dukungan masyarakat terhadap penyelenggaraan KTT G20. Tantangan bagi narator dan komunikator G20 adalah adanya kebisingan informasi yang viral di Indonesia. Perhatian publik terpecah pada berbagai peristiwa yang menguras emosi dan perasaan. Dalam hal ini, media juga menjadi pemicu yang menimbulkan kebisingan dengan berbagai agenda settingnya.
Teori stimulus yang mengungkapkan tentang fenomena “Sihir Peluru” atau “Jarum Hipodermik”, mengasumsikan bahwa semua manusia merespon secara tidak terhidarkan dan seragam terhadap rangsangan kuat dari media, seperti buku, surat kabar, majalah serta media elektronik (Griffin, 2015; Psychologist World, 2019). Peran media menjadi sangat vital yang secara tidak sadar terkadang menciptakan keriuhan dalam komunikasi. Informasi positif yang mencerahkan seringkali tertutupi oleh berita atau informasi yang menguras pikiran dan perasaan. Bahkan seringkali keriuhan ini dapat menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Hal yang paling tidak diharapkan adalah timbulnya rasa pesimisme.
Kebisingan psikologis atau emosional yang mengacu pada kekuatan dalam pikiran seseorang mengganggu kemampuannya untuk mengekspresikan atau memahami pesan secara akurat. Kebisingan ini umumnya muncul dari emosi seperti cinta, ketakutan, kemarahan, ataupun kesedihan (Jani, 2012; Psikolog Dunia, 2019). Hal yang perlu digarisbawahi, kebisingan ini sangat sulit untuk diterjang karena mengena pada emosi sehingga fokus dan pembicaraan masyarakat berpusat pada isu tersebut. Menilik pada hal ini, maka menyebarkan narasi optimisme ditengah kebisingan informasi bukan perkara yang mudah.
Agara komunikasi publik G20 lebih optimal, beberapa hal dapat dilakukan. Pertama, media komunikasi yang digunakan harus tepat dan representasi dari setriap target demografi. Usia 26-40 tahun bisa menggunakan media online, bekerjasama dengan ahli dan konten diarahkan pada isu subtantif G20. Hal yang sama dapat digunakan pada target usia 41-55 tahun dengan perspektif konten dengan isu keagamaan serta nasionalisme. Sementara, Pada target usia dibawah 21 tahun, kita dapat menggunakan media sosial dengan subtansi isu yang ‘receh’ dan banyak pelibatan netizen.
Kedua, hasil survei IPI merekomendasikan narasi G20 harus relevan dengan kepentingan publik. Misal isu transformasi energi, pemerintah bisa mulai mengajak masyarakat untuk mengurangi polusi dengan mengkomunikasi penggunaan transportasi publik atau kendaraan listrik. Terakhir, narasi G20 harus lebih membumi karena perhelatan tersebut bukan sekedar hajatan elit tetapi hajatan publik.
Menebar narasi optimisme Indonesia untuk Presidensi G20 menjadi hal yang sangat penting dengan harapan Indonesia dan dunia dapat keluar dari krisis ekonomi global. Dukungan masyarakat, media, serta komunitas sangat diperlukan untuk memanfaatkan momentum ini agar mampu menjadi secercah harapan terhindar dari krisis ekonomi yang terlalu dalam. Seluruh elemen bangsa harus mendukung G20 sebagai momentum untuk pulih bersama, seperti tagline G20 tahun 2022, “recover together, recover stronger”.(*)