KUTSEL – Desa Adat Pecatu kembali menggelar tradisi tahunan berupa Melasti Mendak Hujan. Tradisi itu dilaksanakan di pesisir Pantai Labuan Sait, bertepatan dengan Tilem Kelima, Kamis (4/11/2021). Uniknya, ada tradisi nguying karena pengiring kerahuan.
Bendesa Adat Pecatu Made Sumerta menuturkan, di wilayah Desa Adat Pecatu, dilaksanakan dua kali upacara Melasti. Pertama adalah Melasti jelang Kesanga, dan kedua adalah Melasti Mendak Sabeh.
Sesuai namanya, prosesi upacara adat keagamaan itu dimaknai sebagai permohonan agar turun hujan pasca musim kemarau. Upacara bersangkutan dipastikan sudah dilaksanakan secara turun-temurun oleh krama Desa Adat Pecatu.
“Inilah tradisi kami di Desa Adat Pecatu,” sebutnya.
Ditanya soal rangkaian upacara bersangkutan, Sumerta mengatakan bahwa pada pagi harinya dilaksanakan prosesi Ngungkab Lawang di Pura Selonding. Setelah itu, dilanjutkan iring-iringan dari Pura Puseh Desa Adat Pecatu menuju Pantai Labuan Sait.
Selanjutnya, begitu prosesi di pesisir pantai Labuan Sait usai, maka iring-iringan kembali menuju Pura Puseh Desa Adat Pecatu kaitan dengan pelaksanaan rangkaiannya yang berupa prosesi Memiut.
Lebih lanjut untuk diketahui pula, dalam pelaksanaan Melasti Mendak Hujan, ada sebuah prosesi yang bernama Paruman Nunas Baos. Sesaat pasca prosesi itulah kemudian ada beberapa orang yang mengalami Ketedunan melakukan aksi nguying.
“Itu adalah Paruman Ida Bhatara. Di sana kami Nunas Baos (mohon petunjuk), apakah prosesi sudah bisa diterima atau sesuai sebagaimana mestinya. Dan Astungkara, hasilnya sudah sesuai dengan tradisi,” bebernya mengenai tradisi yang katanya tidak pernah tidak dilaksanakan tersebut. (adi/jon)