Hantaman pandemi Covid-19 benar-benar dirasakan berat di berbagai sektor terutama Bali yang mengandalkan sektor pariwisata sebagai tumpuan utama dalam menggerakkan roda perekonomian.
Diperlukan langkah berani, taktis, dan sistematis oleh pemangku kebijakan. Bali tidak boleh menutup mata, mempertaruhkan hanya pada satu sektor semata wayang yaitu pariwisata. Selama ini, pundi – pundi penghasilan dari sektor pariwisata memiliki andil besar bagi pendapatan daerah.
Hanya, pendapatan dari gemerincing dolar itu riskan tergerus saat krisis. Bali pun melarat dan sekarat karena banyak pelaku wisata banting setir untuk mempertahankan hidupnya. Tampak begitu jomplang, kita merasakan ekonomi Bali berat sebelah. Maka, perlu terobosan jitu membangun ekonomi Bali melibatkan semua sektor, saling bahu membahu dari semua elemen baik pemerintah, swasta, dan masyarakat di Pulau Dewata.
Membangun optimisme penting digaungkan tapi tidak cukup dengan kata-kata yang bernas untuk menyuarakan kebangkitan sektor riil di Bali. Yang diharapkan adalah aksi atau tindakan yang terukur dimatangkan agar ada satu kebijakan penting diputuskan oleh pemegang kendali dalam hal ini pemerintah atau lembaga kompeten di bidangnya.
Dengan mendorong sektor lainya agar tumbuh seirama, maka sektor yang terkesan terpinggirkan harus dibangun optimismenya yaitu pertanian dan perkebunan. Dua sektor ini memiliki andil dalam menjaga ekosistem pengendalian tingkat konsumsi masyarakat. Mirisnya, sektor ini diakui terabaikan cukup lama. Bahkan, alih fungsi lahan pertanian bak air bah sulit dibendung.
Buktinya, Bali sangat bergantung terhadap bahan -bahan pokok makanan dari luar. Beras misalnya, hasil survei Pola Distribusi Perdagangan Beras tahun 2019 menunjukkan 52,41 persen beras yang diukur di Bali dipasok dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan NTB. Padahal, Bali dahulunya sangat terkenal dengan subaknya. Bahkan, Kabupaten Tabanan dikenal sebagai ikon lumbung berasnya Bali.
Dalam upaya menjaga stabilitas ekonomi Bali, Bank Indonesia (BI) Provinsi Bali gencar merespon pergerakan sistematis ekonomi Bali dan patut diapresiasi. Diantaranya, terobosan mendorong para petani memanfaatkan digitalisasi pemasaran. Kondisi ini disikapi dengan adanya trend harga kebutuhan pokok makanan yang menurun ( Oktober 2020 Bali mengalami deflasi sebesar 0,24% (mtm) data BPS ).
Petani juga dibantu lebih melek dengan sistem pemasaran digital atau dunia digital dengan harapan kemudahan petani bertransaksi dan menjaga mutu produk -produk yang dihasilkannya tetap terjaga.
Pertanyaannya, seberapa banyak petani menguasai pemasaran digital ?. Bagaimana upaya meningkatkan SDM petani?. Langkah BI mendorong petani agar mampu bersaing di era digital ini mau tidak mau harus didukung penuh lintas sektoral.
Pertama, kemudahan dalam bertransaksi sangat diharapkan petani, dengan memberi kesempatan tampil di berbagai ajang bursa dagang, semisal festival, pameran dan sebagainya. Tujuanya, agar lebih mendekatkan antara petani atau produsen dengan konsumen. ( berbagai festival pertanian sudah digelar beberapa kali, seperti Kabupaten Badung dan Buleleng).
Ajang tersebut perlu digalakan dan perluas lagi, agar keterlibatan petani dan pelaku usaha jangkauanya bisa lebih luas lagi. Terpenting lagi penyelenggaraanya dilaksanakan secara konsisten, atau disesuaikan dengan musim hasil panen, semisal musim durian, musim mangga, musim kopi dan sebagainya.
Kedua, menjaga mutu hasil pertanian atau produk perkebunan menjadi kunci dalam menjaga harga-harga tetap stabil. Kenyataannya, memasuki musim hujan akhir – akhir ini, petani kopi robusta di Busungbiu, Kecamatan Buleleng serta Kecamatan Pupuan, Tabanan dan sekitarnya pusing tujuh keliling. Mereka didera kekhawatiran hasil panen kopi busuk dan harga anjlok akibat cuaca ekstrem.
Padahal, menurut petani di Desa Dapdaputih, Buleleng, hasil panen tahun ini meningkat luar biasa. Lahan seluas 89 are mampu menghasilkan 100 kwintal lebih (1000 kg) basah. Dibandingkan tahun sebelumnya paling banyak menghasilkan 50 kwintal ( 500 kg) basah. Rata -rata di kawasan atas seperti Desa Puncaksari, Umajero, Sepang, Desa Tista dan sekitarnya panen kopi tahun ini meningkat dibanding tahun lalu.
Tak hanya itu, pemberian pendampingan untuk kalangan petani sangat penting, mulai pelatihan, memberikan suntikan modal cara pemasaran hingga memanfaatkan era digitalisasi produk. Upaya – upaya lain perlu diinisiasi pihak atau stakeholder lainya. Seperti lembaga koperasi, LPD dan sebagainya bisa berperan menampung alur distribusi produksi petani langsung ke konsumen.
Langkah BI Provinsi Bali mendukung program pasar gotong royong yang diinisiasi oleh Pemda Provinsi Bali juga patut diapresiasi. Namun, alangkah baiknya pula BI mendorong perbankan, koperasi, LPD dan lrmbaga keuangan lainya ikut serta memberi ruang membuka pasar gotong royong secara masive dan berkelanjutan di tengan pandemi ini. Sehingga produk petanipun dapat tersalur dengan baik, seperti petani sayur, kacang- kacangan, buah dan sebagainya.
Untuk mempercepat pemulihan penerapan teknologi dan digitalisasi, pihak BI Provinsi Bali menyebutkan sebuah keharusan di era tatanan kehidupan baru. Apalagi, adanya kebiasaan baru dan awareness terhadap penularan wabah Covid-19 konsumen dan juga produsen untuk cenderung menggunakan teknologi dalam kesehariannya. Saat PSBB industri e-Commerce menjadi tulang punggung bagi aktivitas perdagangan di sektor riil agar tetap hidup.
Pelaku bisnis sebaiknya mengubah pola pikir untuk lebih mempertimbangkan aktivitas bisnis secara online. Secara bertahap, sektor informal maupun pedagang di pasar tradisional juga akan beralih ke arah teknologi digital pada indusri e-Commerce. Tak terkecuali, kalangan petani pun digiring lebih akrab dengan dunia digital, agar tetap survive atau bertahan di tengah pandemi Covid-19. (*)
Penulis I Putu Suryadi
Wartawan Ekonomi WARTA BALI