DENPASAR- Terbatasnya ruang gerak masyarakat di tengah pandemi Covid-19 tak serta merta mematikan kreativitas seni. Sebaliknya, para seniman bisa menjadikan kreativitas seni sebagai katarsis untuk membebaskan diri dari ketertekanan sekaligus menggunakan media digital sebagai bahasa baru yang memberikan jalan keluar secara virtual untuk sebuah proses berkesenian.
Pandangan itu mengemuka dalam seminar virtual atau webinar bertajuk “Kreativitas Seni di Masa Pandemi” yang digelar Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana (Unud) bekerja sama dengan Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (Hiski) komisariat Bali, Jumat (19/6/2020).
Webinar dibuka Rektor Unud AA Raka Sudewi itu menghadirkan tiga pembicara yaitu Ni Putu Putri Suastini Koster (Penyair dan Dramawan yang juga Istri Gubernur Bali Wayan Koster), Putu Fajar Arcana (Sastrawan dan Wartawan Kompas) dan I Nyoman Darma Putra (Guru Besar Sastra Indonesia, FIB Unud). Acara diikuti ratusan peserta berasal dari Bali dan berbagai daerah di Indonesia serta dari luar negeri.
Menurut Fajar Arcana, sejumlah seniman Indonesia berjuang membebaskan diri dari isolasi sosial selama masa pandemi melalui kreativitas seni. Ia mencontohkan Maria Darmaningsih, seorang penari yang bersama dua orang putrinya dinyatakan sebagai kasus pertama Covid-19 di Indonesia merasakan tekanan hebat dari publik di media sosial. Untuk mengatasi problem psikologis itu, Maria dan kedua putrinya melakukan kreativitas seni selama di ruang isolasi seperti melukis, menyanyi dan menari.
Seniman lain, Kasek Puspasari yang tinggal di Paris, Prancis untuk merespons musik dan ruang di rumahnya sendiri untuk membebaskan dirinya dari tekanan isolasi. Ada juga seniman Rianto yang tinggal di Tokyo, Jepang yang mencoba melakukan aktivitas kesenian di dalam rumahnya sendiri di masa pandemi. “Kesenian memberikan semacam jalan keluar untuk mengatasi satu tekanan sosial, satu tekanan peraturan yang menimpa orang per orang,” kata penulis buku kumpulan cerpen Bunga Jepun dan Samsara ini.
Seni, sambung Fajar Arcana, menjadi jalan pembebasan, baik secara ketubuhan karena tubuh tertekan oleh peraturan atau kamar yang sempit maupun menemukan ‘bahasa baru’ dalam proses berkesenian. Seorang seniman juga kemudian menggunakan teknologi digital sebagai katalisator untuk menuju pembebasan itu.
Banyak yang membayangkan teknologi itu hanya platform. Namun, bagi Fajar Arcana, teknologi memberikan jalan keluar para seniman untuk menemukan titik-titik keterhubungan dengan manusia di luar dirinya. Teknologi digital menjelma sebagai suatu ‘bahasa baru’ di tengah-tengah krisis yang dialami manusia. “Pada akhirnya, karya-karya para seniman akan memproduksi pengetahuan yang sangat dibutuhkan oleh ilmu-ilmu lain, seperti sains dan teknologi, untuk terus bergerak mengarungi batas-batas terjauh yang bisa dijangkau imajinasi manusia,” tandas Fajar Arcana.
Virus Korona Tak Membatasi Kreativitas Seni
Ni Putu Putri Suastini Koster menyatakan kreativitas seni tetap bisa dilakukan meskipun dalam situasi pandemi. Yang berkurang hanya aktivitas kesenian melibatkan publik luas. Mungkin sebelumnya aktivitas berkelangsung di panggung, sekarang dilakukan secara virual. Hal ini ini misalnya dilakukan seniman Bali Putu Satrya Kusuma yang beberapa waktu lalu mengadakan pementasan virtual serangkaian Bulan Bung Karno. “Virus corona tidak bisa membatasi kreativitas seni kita,” tegas Putri Suastini Koster.
Sementara, I Nyoman Darma Putra membicarakan pandemi sebagai sebuah polisemi. Dalam sastra, kata Darma Putra, muncul kreativitas luar biasa yang menjadikan pandemi itu sebagai sebuah metafora. Darma Putra mencontohkan tiga novel, yakni Eat Pray Love karya Elisabeth Gilbert, Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan Tarian Bumi karya Oka Rusmini. Eat Pray Love sebagai representasi fam-demic (family pandemic) yakni virus perceraian yang menghancurkan rumah tangga dan itu terjadi lintas negara. Novel Laskar Pelangi sebagai metafora poor-demic yakni epidemi kemiskinan di Indonesia yang belum ada obat atau vaksinnya. Novel Tarian Bumi disebut Darma Putra sebagai representasi status-demic yakni virus konflik kasta yang endemik di Bali. “Lewat narasi dan kisah simbolik, sastra telah mengangkat penyakit sosial yang tidak kalah parahnya dibandingkan pandemi, epidemi dan endemi. Kisah-kisah itu semacam vaksin agar manusia mampu menghadapi masalah kehidupan sehingga apa yang disebut pandemi, endemi, dan epidemi kehidupan bisa berubah menjadi happy-demi,” tandas Darma Putra. (sur)