DENPASAR – Meskipun pertunjukan Wayang Kulit Calonarang sarat dengan simbol-simbol magis, seorang dalang haruslah dapat menyampaikan pesan-pesan agama atau penegakan dharma (kebaikan).
Terutama ketika unsur pengundangan (mengundang leak) yang hakikatnya untuk mengedukasi masyarakat dalam memahami seni dalam tatanan pengiwa dan penengen. Untuk itu seorang dalang mesti memahami betul sesana, baik tatwa, etika dan upacara.
Hal tersebut disampaikan akademisi yang juga Ketua Yayasan Gases Bali Komang Indra Wirawan alias Komang Gases saat menjadi narasumber pada Kriyaloka (Lokakarya) Pesta Kesenian Bali ke-44 di Kalangan Angsoka, Taman Budaya, Denpasar. Kamis (16/6/202).
Menurutnya, sesungguhnya pementasan wayang kulit calonarang tak saja sebagai sarana hiburan, tapi sarat membawa pesan tuntunan nilai-nilai agama dan pengruwatan.
“Pengiwa adalah salah satu ajaran yang diberikan Dewi Saraswati bagaimana kita memahami Tantra Bhairawa. Sanghyang Aji Saraswati juga mengajarkan kita tentang penengen (ajaran dharma). Ini merupakan dua hal yang berbeda, namun satu kesatuan,” katanya.
Khusus bagi yang mendalami pengleakan ugig dapat memahami hakikat ugig tersebut sehingga bisa “ngisep sari” agar tidak menjalankan lagi pengugig sehingga semua ajaran Dewi Saraswati itu adalah baik dan patut.
“Dengan wayang atau bayang menjadi cerminan yang mengedukasi mereka supaya tahu sesana (kewajiban) yang dilakukan,” ucap Dosen Universitas PGRI Mahadewa ini.
Komang Gases pun menyoroti wayang kulit calonarang yang semestinya dibawakan saat upacara dewa yadnya yaitu Ida Bhatara Napak Pertiwi karena identik dengan pengeruwatan, tapi kini juga dipentaskan dalam ritual lainnya.
“Sekarang seringkali sudah hantam kromo. Ketika lahir anak laki-laki juga masesangi (bernazar) ingin menampilkan wayang calonarang, odalan di merajan juga. Saya tidak mengatakan benar atau salah, tapi keliru menempatkan sesangi,” tegasnya.
“Yang terpenting dalam pertunjukan wayang kulit calonarang ini kita dapat memahami akan hakikat kehidupan dan sebagai pengruwatan (penyucian) buana alit (diri) dan buana agung (alam semesta),” imbuhnya.
Komang Gases menyebut pertunjukan wayang kulit calonarang merupakan pertunjukan wayang yang terkesan unik dan masih dianggap sebagai pertunjukan paling angker di antara wayang kulit lainnya.
Dianggap paling angker karena dalam pertunjukannnya banyak mengungkapkan nilai-nilai magis dan rahasia pengiwa (penganut aliran kiri) dan penengen (penganut aliran kanan).
Karenanya, saat ini jumlah dalang yang membawakan Wayang Kulit Calonarang jumlahnya masih terbatas dan mayoritas berusia di atas 40 tahun.
“Yang membedakan dengan wayang kulit lainnya juga karena ada unsur pengundangan (mengundang leak), diperkuat Pupuh Ginada Basur, penggunaan lelintingan api, dan ditambah dengan watangan hidup,” ucap pria yang juga salah satu dalang wayang kulit calonarang itu.
Pementasan wayang kulit calonarang berbeda dengan wayang kulit lainnya, karena menyampaikan perspektif dualitas yang berbeda unsur Rwa Bhinneda, tetapi menjadi satu kesatuan yang utuh.
Sang dalang saat melakukan aktivitas pertunjukan pun menyampaikan pesan simbolik Tantra/kekuatan yang identik dengan kawisesan (Bairawa Tantra) atau yang istilah umumnya pengeleakan.
Kemudian juga ada Yantra (simbol kawisesan) seperti gedang renteng, sanggah cucuk, upakara (banten) dan sebagainya, serta simbol yang lainnya.(sur)
