GIANYAR – Di usia mendekati 90 tahun, kedua tangan seniman I Wayan Jebeg tetap piawai dan energik memainkan gamelan terompong. Gending lelambatan karya sang maestro kelahiran 1932 silam ini masih mampu “menghipnotis” penikmat seni kerawitan.
I Wayan Jebeg melahirkan tabuh-tabuh klasik seperti lelambatan pisan, gending lelambatan, galang kangin, gadung melati, tabuh pat dengkol, kurubaya, kumalayu dan tabuh bebarongan. Tak hanya dikenal kalangan seniman di Bali, karyanya juga mendapat apresiasi di luar negeri.
Seniman yang dikaruniai anak tujuh, 10 cucu dan 15 cicit ini telah melanglang buana ke sejumlah negara seperti Jerman, Amerika Serikat, Italia, Jepang, India. Tak hanya sekadar pentas, pria asal Banjar Batur Desa Batubulan, Gianyar ini juga melatih gambelan. Salah satunya di Grup Sekar Jaya di Negeri Paman Sam.
Ditemui WARTA BALI di rumahnya, Selasa (17/11/2020), Kak (kakek,red) Jebeb berharap karyanya bisa dilestarikan. “Karya -karya sekarang banyak kreasi, banyak hiasan. Tiyang (saya-red) mengajarkan gending di berbagai tempat di Bali agar tetap dijaga dan dikembangkan, “ucapnya berpesan.
Kak Jebeg mengenang mengenal gamelan di usia 10 tahun. Diawali menjadi penari gandrung tahun 1942 di saat perang NICA dan Jepang. Namun, kondisi itu tak mematahkan semangatnya untuk belajar hingga di awal tahun 1945, ia mulai belajar memainkan gamelan dari orang tuanya.“Pertama bisa memainkan gending ngelambat seperti gending Kumalayu khas Sukawati yang saya pelajari di Puri Gianyar. Kemudian, mulai pertama menjadi juru ugal, komando barungan gong yang diajarkan Pan Pogog, Pak Yan Rindi di Puri Gianyar tahun 1945, “ ujarnya.
Dalam perjalananya, taksu Kak Jebeg sebagai seniman kerawitan kian moncer seantero Bali. Bahkan, ia aktif di salah satu grup seni dibawah Kodam bernama Uril yang kini bernama Ajendam. Begitupula saat berdirinya Kokar, Jebeg juga menjadi guru otodidak bagi murid-muridnya. Sebut saja petinggi di sekolah seni Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha ( Rektor ISI), Prof. Dr I Wayan Rai, I Nyoman Winda, Dewa Berata (Pengosekan) dan masih banyak tokoh -tokoh seniman lainya.
Dalam perjalanan seni kerawitan di masa kini, Kak Jebeg berpesan agar tetap mempertahankan corak dan keaslian gending lelambatan. ” Yang terpenting dalam menabuh mengutamakan rasa, bukan karena gendingnya yang bagus tetapi kelihaian dan potensi penabuh sendiri yang lebih utama dalam membawakan gending itu sendiri,”ungkapnya.
Sederetan penghargaan yang diterima I Wayan Jebeg diantaranya Piagam Hut Kemerdekaqn RI 1985 oleh Meneteri Sudharmono, Piagam Wijaya Kusuma 1986, Piagam Sharma Kusuma 1987, Piagam Seni PKB 1991. (sur)