BADUNG – Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) di Jimbaran, Kabupaten Badung, yang dihadiri ribuan peserta dari 192 cabang di Tanah Air, ditutup oleh Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, Jumat (7/12/2024) malam.
Rakernas menghasilkan beberapa keputusan penting. Salah satunya desakan mencabut Surat Keputusan (SK) Mahkamah Agung Nomor 73 Tahun 2015 tentang kewenangan Pengadilan Tinggi melakukan penyumpahan terhadap advokat di luar organisasi Peradi.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi, Prof. Otto Hasibuan menilai Surat Keputusan yang diterbitkan Ketua MA periode 2012-2020, Muhammad Hatta Ali itu sangat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
“Undang-Undang Advokat mengamanatkan pembentukan organisasi advokat tunggal atau single bar untuk meningkatkan kualitas advokat di Indonesia,”ujar Otto Hasibuan saat konferensi pers di sela-sela penutupan Rakernas.
Menurutnya, SK Mahkamah Agung itu telah menggradasi advokat Indonesia.
“Sehingga bisa dirasakan betapa buruknya kualitas advokat yang baru karena pelantikan tanpa prosedur yang semestinya. Bahkan, diduga tidak melakukan pendidikan sebagaimana mestinya tetapi tiba-tiba bisa menjadi seorang advokat,”ungkap Otto Hasibuan didampingi Ketua Dewan Kehormatan Pusat Peradi, Adardam Achyar.
Satu sisi, Otto Hasibuan mengakui pencabutan itu akan menimbulkan konsekuensi bagi advokat di luar Peradi yang telah diambil sumpahnya oleh Pengadilan Tinggi.
“Rakernas memberikan usulan kepada DPN supaya dapat menerima advokat yang sudah disumpah oleh Pengadilan Tinggi di luar Peradi menjadi anggota Peradi tanpa perlu mengikuti PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat). Ini juga sebagai bentuk menghormati keputusan Pengadilan Tinggi yang telah melakukan penyumpahan dan mereka juga telah menerima SK menjadi advokat dan demi tercapainya single bar (wadah tunggal organisasi advokat),”tegas Otto hasibuan sembari menyebut ada ribuan advokat yang mengajukan permohonan masuk Peradi.
“Ini keputusan paling penting dalam Rakernas karena sudah hampir lima tahun ini, tiap tahun dibicarakan oleh Peradi tapi tidak putus-putus dan akhirnya kita bisa memutuskan hal ini,”imbuhnya.
Otto Hasibuan menegaskan, tujuan keputusan pencabutan SK MA itu bukan kepentingan Peradi, tetapi masyarakat pencari keadilan.
“Bayangkan jika kualitas advokat tidak baik, yang menjadi korban adalah masyarakat pencari keadilan,”ujarnya.
Ia menambahkan, seorang advokat harus pintar dan berkualitas agar jangan sampai masyarakat pencari keadilan dirugikan.
“Untuk bisa berkualitas maka perlu standarisasi profesi advokat sehingga perlu satu organisai advokat yang menjalankannya,”ungkapnya.
Objektif Tanpa Pandang Bulu
Ketua Dewan Kehormatan Pusat Peradi, Adardam Achyar berharap dengan pencabutan SKMA tidak ada lagi celah bagi advokat terutama yang sudah dipecat dari Peradi memanfaatkan celah dari Berita Acara Sumpah.
“Dewan Kehormatan tidak punya kewenangan mencabut Berita Acara Sumpah karena merupakan produk dari Pengadilan Tinggi,”jelasnya.
Ia menambahkan, sekarang ini legalitas advokat berpraktik di persidangan sudah bergeser.
“Kalau dulu KTPA yang diterbitkan Peradi, sekarang bisa hanya dengan Berita Acara Sumpah. Inilah kaitannya DPN Peradi mendesak SKMA No. 73 Tahun 2015 dicabut,”ungkapnya.
Disinggung anggota Peradi yang diadili karena pelanggaran kode etik, Adardam Achyar menyebut setiap tahunnya 150 advokat.
“Jadi, selama hampir empat tahun sudah ada 600 advokat Peradi diadili karena pelanggaran kode etik dan dari jumlah ini, hampir 20 persen diberhantikan. Dewan Kehormatan konsen terhadap perilaku menyimpang advokat dalam menjalankan profesi yang merugikan masyarakat pencari keadilan,”sebutnya.
“Kami pernah menjatuhkan skorsing kepada advokat mantan petinggi penegak hukum. Ada juga sanksi terhadap advokat bergelar Guru Besar,”tandasnya.
Otto Hasibuan menimpali, Peradi betul-betul objektif tanpa pandang bulu terhadap anggota yang melanggar kode etik. (dum)