Denpasar

Bedah Dua Buku Peraih Penghargaan Gerip Maurip, Ada yang Gunakan Bahasa Bali Khas Nusa Penida

DENPASAR – Kumpulan cerpen berbahasa Bali berjudul Ngetelang Getih Kaang Putih karya Ni Putu Ayu Suaningsih dan kumpulan puisi Bali modern karya Putu Wahya Santosa berjudul Kidung Rasmi Sancaya meraih penghargaan Gerip Maurip. Kedua buku ini dilauncing dan dibedah pada Rabu, 21 Agustus 2024 petang di IKIP Saraswati Tananan.

Penghargaan Gerip Maurip ini merupakan penghargaan untuk karya sastra Bali modern yang digelar penerbit Pustaka Ekspresi yang digawangi perbekel Kukuh, Marga, Tabanan, I Made Sugianto dan tahun ini berkolaborasi dengan Komunitas Suara Saking Bali.

Pembedah cerpen, Ni Made Ari Dwijayanthi mengungkapkan dirinya menemukan Nusa Penida dalam Ngetelang Getih Kaang Putih. Ada 9 cerpen dalam buku ini yang semuanya menggunakan setting atau pun mengangkat kisah yang dilatarbelakangi Nusa Penida. “Ada juga penggunaan bahasa khas Nusa Penida yang membuat cerita ini unik, meskipun tidak seutuhnya menggunakan bahasa Nusa,” kata Ari Dwijayanthi.

Namun, ia berharap ke depannya, penulis membuat karya yang keseluruhannya menggunakan bahasa Nusa Penida.”Saat ini ada penyetaraan Bahasa Bali sehingga bahasa khas lokal perlahan tersingkir. Sehingga peran sastrawan harus mengambil alih hal ini,” imbuhnya.

BACA JUGA:  Penahanan Sukena "Penyelamat" Landak Jawa Ditangguhkan

Selain dalam hal bahasa, Ari Dwijayanthi juga menemukan rasa Nusa Penida dalam tema beberapa cerpen. Salah satunya yakni diangkatnya legenda pohon besar yang dipercaya merupakan jelmaan orang-orang kuat di Nusa Penida.

Sementara Wayan Esa Bhaskara selaku pembedah buku puisi merasa bersyukur karena masih ada guru bahasa Bali yang menulis puisi.Karena baginya selama ini kebanyakan penulis sastra Bali modern kebanyakan guru non bahasa Bali. “Ini membuktikan bahwa Wahya Santosa tak hanya pandai menyuguhkan teori kepada siswa namun membuktikan dengan karya,” katanya.

Wahya juga melihat ada keterkaitan judul kumpulan puisi ini dengan Kidung Rasmi Sancaya karya Dang Hyang Nirarta. “Kidung Rasmi Sancaya menampilkan keindahan, dan puisi Wahya juga sama. Bahkan kita akan bertanya, dari mana Wahya mendapatkan kata-kata yang sebagus ini,” kata Esa.

Penulis cerpen, Ni Putu Ayu Suaningsih mengatakan sebagai seseorang yang berdarah Nusa, ia merasa terpanggil untuk menggali kekhasan yang ada di daerahnya. Meski lahir dan besar di Denpasar, ia mencoba menyelami Nusa Penida dengan lebih dalam.”Nanti saya berencana akan membuat cerita lagi dan semuanya menggunakan bahasa Nusa Penida,” katanya.

BACA JUGA:  Kadiskominfos Saksikan Langsung, Cabor Cricket Bali Raih Emas di PON XXI/2024 Aceh-Sumut

Pemilik Pustaka Ekspresi, I Made Sugianto menjelaskan jika penghargaan Gerip Maurip ini digelar sejak tahun 2017. Awalnya hanya memilih dua juara, kemudian berkembang menjadi enam juara pada dua kategori yakni puisi dan prosa.”Setiap tahun, selalu ada hal menarik yang lahir dari karya yang ikut di acara Gerip Maurip ini,” katanya.

Ketua Komunitas Suara Saking Bali, I Putu Supartika menyebut, acara ini adalah salah satu upaya memasyarakatkan sastra Bali modern yang selama ini termarjinalkan. Apalagi menurutnya karya sastra modern masih kalah jauh dengan sastra Bali tradisional.”Semoga dengan melibatkan berbagai unsur termasuk mahasiswa akan membuat sastra Bali modern semakin dikenal dan semakin banyak pembacanya,” katanya.

Pihaknya juga mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Kebudayaan Riset dan Teknologi atas dukungannya lewat Dana Indonesiana dan LPDP sehingga acara ini bisa terselenggara. Wakil Rektor I IKIP Saraswati Tabanan, I Nyoman Suaka, mengatakan acara ini memberikan atmosfer yang baik bagi perkembangan sastra di kampusnya. “Mahasiswa bisa langsung mendapatkan wawasan tentang cara mengkritik sebuah karya sastra,” katanya. (sur,dha)

Back to top button