BULELENG – Upaya mencegah radikalisme yang dapat tumbuh pada setiap orang, bahkan kelompok hingga institusi termasuk juga Polri terus dilakukan Polres Buleleng.
Akan sangat berbahaya terhadap keberlangsungan berbangsa dan bernegara ketika anggota Polri yang memiliki tugas menjaga ketertiban dan melindungi masyarakat dari rasa khawatir serta ketakutan justru terlibat aksi terorisme.
“Tindakan pencegahan terus kita lakukan, jangan sampai di tubuh Polri sendiri tumbuh sel-sel radikalisme, tentu sangat berbahaya bagi negara,” tandas Kasi Humas Polres Buleleng AKP I Gede Dharma Diatmika usai mengikuti sosialisasi radikalisme, terorisme, intoleransi yang digelar secara daring oleh Mabes Polri, Selasa (13/8/2024).
Sebagai antisipasi, kata Dharma, personil Polres Buleleng mengikuti arahan dan sosialisasi terkait radikalisme, terorisme dan intoleransi sehingga mampu mengenal, memahami dan mengetahui cara untuk mencegah.
“Karena, radikal yang berasal dari kata radix, serta bermakna cara berfikir yang mengakar, tuntas, komperhensif dan holistik tidak selalu negatif. Sementara radikalisasi merupakan metode yang ditempuh agar cara berfikir kritis dapat diwujudkan,” jelasnya.
Jika radikalisme dikaitkan dengan idiologi yang menyesatkan, terlebih dengan kekerasan dan melanggar hukum, sudah pasti negatif dan ujungnya adalah terorisme serta aksi kekerasan.
“Namun radikal dalam penerapan ilmu baru, teknologi baru bagi kemajuan negara ini tentunya harus didorong,” tandasnya.
Mantan Kanit Reskrim Polsek Kota Singaraja ini tidak menampik pemetaan potensi penyusupan gerakan radikal dalam sebuah kelompok maupun instansi masih sangat sulit dilakukan.
“Terlebih dengan perkembangan teknologi informasi hingga media sosial yang dapat menghubungkan setiap orang hampir tanpa batas,” terangnya.
Selain membentengi diri dengan membuka wawasan, pengetahuan serta saling mengingatkan sebagai penguatan persatuan baik individu, keluarga dan masyarakat.
“Deteksi dini juga dapat dilakukan dengan ‘saring sebelum share’ konten di media sosial. Karena, ini kan gerakan bawah tanah yang terorganisir, agak susah untuk mendeteksi kecuali dengan mengenal ciri khas konten di media sosial, seperti sering tebar hoax dan biasanya pake akun palsu dengan konten ajakan untuk membenci pihak lain termasuk pemerintah tanpa dasar, beda dengan kritik,” pungkasnya. (kar/jon)