GIANYAR – Kasus sengketa tanah berujung kesepekan kembali terjadi di wilayah Gianyar. Ini terungkap saat sejumlah krama Desa Adat Jasan, Desa Sebatu, Tegalalang, mendatangi Pengadilan Negeri Gianyar, Senin (22/5/2023) pagi.
Sekitar 250 warga mendampingi prajuru adat yang digugat oleh seorang krama, Anak Agung Alit Atmaja terkait persoalan tanah seluas 26 are yang kini berupa tegalan dan sawah.
Penggugat mendatangi PN Gianyar didampingi pengacara I Gede Sukerta dan I Dewa Ketut Budiadnya.
Kepada wartawan, Anak Agung Alit Atmaja mengaku menggugat bendesa, kelian adat dan kepala desa.
Ia mengungkapkan, tanah yang menjadi objek sengketa dibeli oleh orang tuanya dari I Wayan Gobyah yang juga krama Desa Adat Jasan.
“Saya punya akta jual beli tahun 1957,” ungkapnya.
Sejak beberapa tahun, Alit Atmaja tidak pernah merawat tanah tersebut karena bekerja di sebuah hotel di Denpasar, dan tinggal di Desa Batubulan, Sukawati.
Terkadang ia pulang saat ada kegiatan adat di Desa Adat Jasan. Namun, ia merasa dikucilkan sehingga memilih tak pulang-pulang dalam waktu cukup lama.
Agung Atmaja kaget lantaran tanah tersebut dikuasai adat.
“Tanah itu digunakan oleh adat tanpa sepengetahuan saya. Saat saya minta, diklaim tanah itu milik desa adat,” terang Agung Atmaja.
Adapun agenda saat ini adalah mediasi, tapi belum menemukan titik temu. Terkait jika ditawarkan damai, Agung Atmaja sangat setuju. Ia pun bersedia membayar atau melakukan kewajibannya selama tidak aktif ngayah di adat asalkan semua haknya dikembalikan.
“Kami mau damai, tapi hak dikembalikan dan saya sanggup untuk ngayah adat. Kewajiban akan dipenuhi sepenuhnya,” ujarnya.
Sementara, I Nyoman Putra Selamet selaku kuasa hukum Prajuru Adat Jasan menjelaskan, di desa adat setempat, semua tanah yang ada di wilayah setempat merupakan milik desa adat. Krama atau warga hanya ‘ngayahin’ atau mengelola sesuatu aturan awig-awig.
Dikarenakan penggugat dinilai melanggar awig-awig, dalam hal ini tak aktif dalam medesa adat, sehingga tanah tersebut diambil kembali.
“Versi penggugat, dia memiliki tanah itu. Versi desa adat, kan desa itu memang kalau di daerah utara, semua tanah itu punya desa adat. Cuman diayahin karena yang ngayah itu melanggar awig-awig, sehingga tanah itu diambil kembali oleh adat,” ujar Putra Selamet. (jay)