BADUNG – Dua dari tiga desa adat di Kecamatan Kuta Selatan, yakni Tanjung Benoa dan Bualu, menyatakan sikap menolak keberadaan pemandu wisata jalanan alias gacong. Kesepakatan itu berdasarkan hasil paruman menindaklanjuti pertemuan di Kantor Camat Kuta Selatan pada 15 Juni 2021.
Rapat di Desa Adat Tanjung Benoa dilaksanakan, Kamis 17 Juni 2021. Terdapat lima poin penting yang menjadi keputusan. Pertama, untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata bahari Tanjung Benoa, maka melarang keberadaan gacong yang sering meresahkan wisatawan.
Kedua, mendesak agar para pengusaha wisata bahari yang beroperasi di kawasan Desa Adat Tanjung Benoa untuk tidak menerima keberadaan gacong, disertai pembuatan surat pernyataan.
Ketiga, pemerintah atau instansi terkait mengambil peran dalam menertibkan keberadaan gacong dan dibantu oleh bankamda desa adat.
Keempat, bagi masyarakat yang melanggar ketentuan dalam keputusan paruman, akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan dalam awig-awig desa adat. Serta kelima, penegasan soal keputusan paruman yang mulai berlaku sejak ditetapkan.
“Untuk sanksi, jika itu adalah pengusaha wisata bahari yang mempergunakan tanah pelaba pura, maka perpanjangannya akan kita evaluasi sesuai isi perjanjian,” kata Bendesa Adat Tanjung Benoa I Made Wijaya alias Yonda yang dihubungi, Jumat 18 JUni 2021.
Ia menegaskan, aksi gacong membuat resah wisatawan sudah jelas-jelas melanggar aturan yang berlaku. “Setelah paruman, tinggal merancang action di lapangan karena Perda-nya sudah jelas,” tegasnya.
Sementara, paruman di Desa Adat Bualu, dilaksanakan, Jumat 18 Juni 2021. Hasilnya, mengacu pada hasil rapat di Kantor Camat Kuta Selatan.
Pertama, pemerintah bersama dengan desa adat, pengusaha, dan masyarakat berkomitmen untuk mewujudkan keamanan dan kenyamanan berwisata di Daerah Tujuan Wisata.
Kedua, para pengusaha wisata tirta di Kelurahan Benoa, Kelurahan Tanjung Benoa, Desa Adat Bualu, Desa Adat Tengkulung, dan Desa Adat Tanjung Benoa, sepakat untuk tidak menerima adanya jasa dan/atau memberi imbalan jasa pada gacong jalanan atau sebutan lain (mereka yang menawarkan jasa watersport di jalan raya).
Ketiga, pengawasan terhadap poin 1 dan 2 dilakukan Satpol PP Badung, Dinas Pariwisata Badung, DPMPTSP Badung, Dinas Perhubungan, kepolisian, TNI, unsur Kecamatan Kuta Selatan, kelurahan, desa adat, serta asosiasi pengusaha wisata tirta. Sementara yang keempat, sanksi terhadap poin 1 dan 2 dikenakan sesuai perarem desa adat dan/atau peraturan perundang-undangan berlaku.
“Kami sepakat untuk turut serta menertibkan,” ungkap Bendesa Adat Bualu I Wayan Mudita.
Selain keputusan rapat prajuru, Mudita akan kembali membahas persoalan tersebut dalam penyempurnaan awig yang sedang berlangsung sampai saat ini ke dalam perarem. Tujuannya untuk tetap menjaga ketertiban di wewidangan Desa Adat Bualu.
Sementara itu, Desa Adat Tengkulung belum memantapkan kembali sikap melalui gelaran parum terkait keberadaan gacong. Bendesa Adat Tengkulung I Gede Eka Surawan yang dihubungi mengaku menjadwalkan rembuk bersama prajuru, Sabtu 19 Juni 2021.
“Tapi yang jelas, untuk gacong yang mengejar-ngejar wisatawan di jalanan, saya pribadi setuju kalau itu ditiadakan karena sangat mengganggu,”ungkap Eka. (adi)