Situasi masa sekarang diyakini sebagai zaman Kali Yuga atau zaman huru-hara dan telah tersurat dalam lontar Catur Yuga. Dalam karya sastra lontar tersebut juga memberi petunjuk apa yang sebaiknya dilakukan manusia agar selamat di zaman Kaliyuga yaitu mengedepankan atau memuliakan perilaku atau sifat-sifat yang dilandasi ajaran Dharma serta senantiasa mendekatkan diri kepada Hyang Pencipta.
Perihal lontar Catur Yuga itu didiskusikan dalam Rembug Sastra Mengupas dan Mengenal Zaman Menurut Lontar Catur Yuga di Ubud Royal Weekend dan Puri Anyar Heritage di Puri Anyar Ubud, Kamis (2/7/2020).
Rembug sastra menyambut Hari Raya Saraswati itu menghadirkan dua pembicara yaitu Ida Pedanda Gde Putra Bun dari Griya Keniten Dukuh Agung Jukutpaku Singakerta dan Bendesa Desa Adat Ubud sekaligus Tokoh Puri Saren Kauh Ubud Tjokorda Raka Kerthyasa. Diskusi disiarkan langsung di Instagram itu dimoderatori Koordinator Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Gianyar Ida Bagus Oka Manobhawa serta dibuka Penglingsir Puri Agung Ubud Tjkokorda Gde Putra Sukawati.
Ketua Panitia Rembug Sastra Tjokorda Gde Agung Ichiro Sukawati mengatakan, lontar Catur Yuga yang dibahas merupakan koleksi Puri Saren Kauh Ubud.
“Ketika datangnya zaman Kali Yuga, menurut lontar Catur Yuga dan juga termuat dalam berbagai teks-teks tradisional Bali lainnya, jalan yang patut dan utama dilaksanakan oleh manusia adalah dengan selalu mendekatkan diri kepada Hyang Pencipta (mamekul ripadha Sang Hyang Widhi Wasa)”kata Ida Bagus Oka Manobhawa menyimpulkan rembug sastra.
Lontar Catur Yuga, seperti dijelaskan Ida Pedanda Gede Putra Bun, menceritakan Raja Bhanoraja yang memerintah di Kerajaan Purbhasasana. Sang raja yang memiliki permaisuri Dewi Tattwawati itu memiliki seorang putri cantik dan bijaksana bernama Dewi Ratnarum. Sang putri dilamar Raja Rekatabyuha yang dikenal rakus, jahat dan dipengaruhi Kalisanghara. Raja Bhanoraja tentu saja menolak lamaran Raja Rekatabyuha.
Hal inilah yang memicu Raja Rekatabyuha menyerang Kerajaan Purbhasasana. Karena mendapatkan anugerah dari Hyang Mahakuasa, Raja Bhanoraja akhirnya bisa mengalahkan Raja Rekatabyuha. Dalam narasi Raja Bhanoraja itulah diselipkan pembagian empat zaman yang disebut sebagai Catur Yuga, yakni zaman Kertha Yuga, Traita Yuga, Dwapara Yuga, dan Kali Yuga.
Pada zaman Kali Yuga, lanjut Ida Pedanda, Sang Hyang Brahma menjelma pada seorang raja yang berkuasa, ikut juga Hyang Kala, Hyang Kali berwujud manusia menjelma di bumi, sama-sama menikmati kesenangan, selalu memangsa manusia, berlaksana angkara murka. “Itulah sebabnya, kelahiran manusia menjadi tidak baik, pikiran manusia menjadi tidak baik, selalu memenuhi loba dan tamak,”kata Ida Pedanda.
Tjokorda Raka Kerthyasa mengungkapkan, karya sastra termasuk lontar Catur Yuga merupakan salah satu media dan alat komunikasi, menyajikan pesan-pesan sesuai kondisi sosial pada zamannya. Sastra sebagai simbol ekspresi, sebagai medium komunikasi verbal dan nonverbal juga sebagai manifestasi transendental. “Karya sastra adalah fondasi, sumber dan energi kehidupan. Melalui penyampaian simbol-simbol sebagai kiasan, sastra memberikan pikiran kita ruang agar inspirasi dan kreativitas itu tidak berhenti dalam mencari ide-ide untuk mendapatkan solusi, inisiatif, merekonstruksi kesadaran sosial. Begitu juga mengarungi zaman Kali Yuga ini,”ungkap Tjok Ibah–sapaan akrab Tjokorda Raka Kerthyasa. (sur)