BULELENG – Wakil rakyat yang tergabung dalam Komisi III DPRD Kabupaten Buleleng menindaklanjuti hasil monitoring penyaluran bantuan sosial (bansos) Pendemi Covid-19 dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP). Tidak hanya carut marutnya Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang berakibat konflik antar warga masyarakat dan aparat pemerintah, tapi juga penyaluran bansos dengan paltform parpol yang dinilai tidak etis pada saat terjadinya bencana yang ditetapkan sebagai Darurat Kesehatan Nasional.
“Selain pemanfaatan dana hasil refokusing APBD untuk penanganan Pendemi Covid-19, ada beberapa temuan hasil monitoring yang kita bahas dan menjadi rekomendasi dewan terhadap eksekutif,” tandas Ketua DPRD Kabupaten Buleleng Gcde Supriatna, Kamis (11/6/2020) usai memimpin Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Gedung DPRD Buleleng.
Supriatna didampingi Ketua Komisi III DPRD Buleleng, Luh Marleni memaparkan dari hasil monitoring yang dilakukan ke sejumlah desa, dewan menemukan kekurangnya pahaman masyarakat terhadap banyaknya jenis bantuan baik dari pemerintah pusat, pemeritah provinsi dan kabupaten. “Karena ketidaktahuan ini menimbulkan kesalahpahaman masyarkat, terutama terkait Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang digunakan dasar penyaluran bantuan penanganan Covid-19,” tandas Supriatna.
Supriatna juga mengaku risih dengan temuan bantuan sosial yang menggunakan platform parpol pada kondisi yang ditetapkan sebagai Darurat Kesehatan Nasional. Sesuai hasil RDP, dewan merekomendasikan Pemkab Buleleng melalui instansi terkait, melakukan perbaikan database kependudukan, sehingga menjadi lebih valid dan terupdate dalam DTKS.
Menyikapi rekomendasi tersebut, Kepala Dinas Sosial (Kadinsos) Buleleng Gede Sandhyasa menyatakan sesuai ketentuan pendataan, verifikasi dan validasi DTKS dilakukan dua kali. “Sekarang sudah dilakukan empat kali dalam setahun. Tujuannya untuk menyempurnakan data, sehingga warga masyarakat yang betul-betul miskin bisa masuk DTKS, sementara yang sudah mampu dikeluarkan. Dan ini prosesnya melalui musyawarah desa, hasilnya dikikirim ke Kementerian Sosial melaui aplikasi SNJ, dan keputusan selanjutnya ada pada Pemerintah Pusat dalam bentuk SK DTKS,” tandasnya.
Diakui, kendala verifikasi DTKS pada tingkat desa saat ini adalah pengoprasian aplikasi SNJ, sehingga sering terjadi data yang tidak valid. “Kami sudah tindaklanjuti melalui rebekel agar dilakukan pelatihan melinbatkan unsur terkait sehingga kedepan DTKS lebih valid,” tandasnya.
Hal senada diungkapkan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Buleleng I Made Subur. Mantan Kalaksa BPBD Buleleng ini mengatakan sesuai arahan BPK, BPKP dan KPK, penyaluran bantuan untuk Keluarga Penerima Bantuan (KPM) tidak boleh double. “Keluarga penerima bantuan dari dinas sosial dan kabupaten tidak boleh dobel dengan dana desa,” tegasnya.
Dari hasil kroscek kelapangan, ditemukan beberapa KPM menerima bantuan dobel seperti BPNT dan BLT, BST dan BPMT, serta BLT Dana Desa dan BST di kantor pos. “Kami sudah panggil orangnya, ada yang tidak mengaku dan setelah kroscek ke kantor pos, ternyata mereka dobel,” ungkap Subur seraya menyebutkan selain bersurat kepada BPD agar melakukan penggantian nama penerima bantuan, pihaknya juga menyarankan penyaluran bantuan melaui program Padat Karya Tunai (PKT) dengan memberdayakan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).(kar)